Selasa, 22 April 2008

Dunia tanpa mata dan telinga

Bayangkanlah sebuah dunia tanpa mata. Yang terlihat hanyalah kegelapan
atau paling tidak keburaman. Semua penampakan yang ada di luar sana tidak ada
artinya. Serbuan cahaya yang terus menerus dalam spektrum frekuensi yang
dapat dilihat melalui mata normal juga tidak dapat diindera. Semua keindahan
pada alam, harta benda, dan manusia tidak dapat dinikmati. Itulah yang terjadi
jika Allah tidak mengaruniai nikmat mata.

Bayangkanlah sebuah dunia tanpa telinga. Yang terdengar hanya keheningan,
bahkan denging suara di telinga pun tidak terdengar. Serbuan frekuensi dalam
spektrum suara yang dapat didengar juga tidak bisa diindera. Kenikmatan suara alam,
musik dan lagu tidak bisa dinikmati. Itulah yang terjadi jika Allah tidak
mengaruniai nikmat telinga.

Tanpa mata dan tanpa telinga, apa jadinya? Kegelapan dan keheningan. Tidak
ada apa-apa di luar sana. Ini yang terjadi pada jiwa di awal perjalanannya di
alam dunia. Jiwa belum dibekali alat untuk mengindera dunia fana ini. Apa
perlunya dibekali indera? Untuk sebuah tujuan. Mengenal Allah. Setelah mengenal
Allah, mau apa didunia ini? Jiwa menunjukkan diri sebagai hamba yang patuh tunduk
kepada Allah semata. Apa bukti ketundukan ini di dunia? Bersyukur dengan
karunia dunia, mencari rizki untuk dinafkahkan di jalan Allah. Beribadah kepada
Allah. Bagaimana cara beribadah. Kenalilah Rasulullah dan dua warisannya, yaitu
Al-Qur'an dan Hadist. Bertaqwalah di manapun berada.

Lalu bagaimana mensikapi semua kejadian di dunia ini?
Sikapi semua kejadian sebagaimana adanya, Lalu gunakan pendekatan syar'i
(hukum Allah) untuk menilai baik dan buruknya. Jangan mencoba menilai baik dan buruk
hanya dari rasionalitas dan perasaan subjektif semata. Betapapun keras kita mengusahakan atau menghindari sesuatu, kejadian yang kita terima adalah ketetapanNya. Sesungguhnya semua kejadian
ini milikNya dan hanya kepadaNya semua dikembalikan. Ketika ikhtiar dengan jihad telah diusahakan, maka bertawakallah.

Jadilah saksi atas kekuasaanNya, keindahanNya, karuniaNya, nikmatNya yang
tercurah ke diri kita.

Dengan adanya hidup di dunia ini, sang ruh belajar mengenali Tuhannya,
Nabinya, dan dirinya sendiri. Sehingga ketika tiba waktunya kembali kepada Tuhannya, sang jiwa telah siap dan bertanggung jawab atas semua perbuatannya di dunia dan menuju Tuhannya dengan tenang tanpa rasa kuatir dan rasa takut.

Medio Maret 2007

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Akmal Hasan ini lulusan sastra atau elektro ya? Kok puisinya bagus banget?

akmal mengatakan...

@bank al

Salam takzim dan penuh hormat untuk bank al, salah satu begawan milis dan blog indonesia :)

Ini cuman oret2-an kok bank..

salam